Sabtu, 26 Juni 2010

SKPP Ditolak, Kejagung Mengajukan PK Praktisi Hukum – DPR : Harus Dibuktikan Di Pengadilan

Supaya dapat mengakiri polemik Kasus dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah, serta pengajuan PK (Peninjauan Kembali), SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) Bibit-Chandra oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) ke Makamah Agung (MA).
Akhirnya baik dari praktisi hukum dan DPR memberikan pendapat agar kasus ini harus tetap dibuktikan di Pengadilan.
Disamping itu Presiden SBY, terus memantau sambil menghormati proses penegakan hukum, juga dikatakan, tidak boleh intervensi. Tapi dikalangan masyarakat beredar opsi deponering (mengesampingkan) dan upaya melanjutkan ke pengadilan.
“Semua itu adalah domain dari Kejagung dan MA. Apakah MA nantinya meluluskan PK atau tidak. Jika MA meluluskan PK, maka kasusnya berhenti. Tapi kalau tidak diluluskan, maka SKPP tidak berlaku dan masuk solusi selanjutnya,” ungkap Presiden dalam acara dialog dengan wartawan.
Lanjutnya, memilih opsi lebih baik terlebih dahulu menanti hasil keputusan MA. Jika PK juga ditolak, maka dua pimpinan KPK terancam harus kembali melanjutkan perkara di pengadilan.
Sementara langkah-langkah terhadap PK, SKPP Bibit – Chandra, Tim pengawas Bank Century menilai, langkah Kejagung mengajukan PK itu membuat kasus hukum menimpa dua pimpinan KPK terkesan berputar-putar tanpa penyelesaian. “PK ini membuat Bibit – Chandra tersandera,” kata Mahfudz Siddik, salah satu anggota tim pengawas DPR.
Juga dikatakan, ini tidak perlu lagi ada PK, dan kasus ini segera didorong aja untuk maju ke pengadilan. “Seandainya KPK, Bibit-Chandra, yakin tidak bersalah, hal ini harus dibuktikan saja biar ada putusan hukum yang mengikat. Selain itu juga demi kebaikan KPK, justru selama ini tidak bisa bekerja maksimal,” tegasnya.
Selanjutnya dijelaskan, hal ini nanti tetap bergulir, meski PK Kejagung diterima. Justru, sebaiknya Presiden segera mengeluarkan surat “nonaktif” sementara kepada Bibit – Chandra. Agar proses pengadilan bisa berjalan cepat.
Juga diakui, tim pengawas Century ini siap bekerja sama dan membantu kepada dua pimpinan KPK yang tersisa. Jika Bibit – Chandra harus menjalani proses pengadilan. “Beri prioritas penyelesaiannya, daripada digantung, disandera seperti ini,” ungkapnya.
Pendapat yang sama, Ketua DPR RI Marzuki Alie, yang sejak awal setuju agar kasus ini diduga melibatkan kedua pimpinan KPK dibawa ke ranah hukum, berpendapat demi kepastian hukum dan demi mengakiri polemik, sebaiknya memang harus dibuktikan di pengadilan, agar polemik ini tidak berkepanjangan.
“Apalagi alasan sosiologis untuk menghentikan kasusnya, itu tidak tepat, karena hal itu tidak ada dalam KUHAP. Dan waktu itu Presiden memang menyarankan agar kasusnya diselesaikan diluar pengadilan, justru itu tekanan publik begitu keras. Kini, tekanan publik itu relative kecil, meka saatnya kasus ini di bawa ke pengadilan,” ungkap Marzuki.
Hal senada juga diungkapkan oleh praktisi hukum Lukas Halomoan Napitupulu SH, untuk menghilangkan aroma politik, sebaiknya kasus itu harus dibawa ke pengadilan.
“Meski Kejaksaan mengajukan PK, seharusnya berkas perkara Bibit – Chandra tetap dilimpahkan ke pengadilan. Ini konsekuensi dari SKPP yang sebelumnya telah dibatalkan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dan PK tidak menghalangi upaya eksekusi,” ungkap Halomoan.
Semua ini sebelumnya Mabes Polri telah menetapkan kedua pimpinan KPK itu sebagai tersangka perkara dugaan percobaan pemerasan terhadap tersangka korupsi proyek sistem komonikasi SKRT di Kementerian Kehutanan.
Kemudian Tim 8 merekomendasi agar kasus Bibit-Chandra diselesaikan diluar pengadilan. Selanjutnya Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan SKPP atas nama Bibit-Chandra.
Dengan demikian, Anggodo Widjoyo akhirnya mengajukan gugatan praperadilan atas SKPP Bibit-Chandra itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemudian dikabulkan gugatan Anggodo Widjoyo. Justru SKPP Bibit-Chandra dinyatakan “dibatalkan” demi hukum.
Sesuai pengantar Pengacara Senior, OC Kaligis melalui bukunya, dari kasus praperadilan nomer : 46/Pid/Prap/2009/PN.Jkt.Sel, terungkap fakta-fakta bahwa awal mulanya kasus ini disebabkan adanya laporan Antasari Azhar ketika itu sebagai Ketua KPK selaku pelapor, terhadap Bibit-Chandra selaku terlapor . Perlu dipertegas, bahwa laporan tersebut bukan dibuat oleh Penyidik Kepolisian.
Atas dasar itu penyidik polisi memulai pemeriksaan terhadap saksi-saksi, termasuk saksi-saksi dari KPK, masing-masing dalam perkara Bibit, sebanyak 8 saksi dari KPK dan dalam perkara Chandra, sebanyak 20 saksi dari KPK, juga diperiksa para ahli untuk kasus yang disangkakan.
Kemudian dinyatakan P-21, pernyataan P-21 ini artinya berkas perkara telah lengkap dan siap untuk dilimpahkan ke tahap pemeriksaan terhadap sejumlah ahli untuk memperoleh keterangan ahli guna membuat terang mengenai tindak pidana itu. Keterangan-keterangan ahli terkait dugaan tindak pidana tersebut, ternyata tidak pernah terungkap kepada publik.
Lembaga KPK Kita Harus Mendukung
Menanggapi hal ini menurut Anggoho Wijaya kepada Investigasi mengatakan, selama ini nama KPK sangat harum. Tetapi ada sayangnya, didalam KPK masih ada oknum dengan menggunakan wewenangnya yang super power, untuk mencari keuntungan pribadi. Sehingga akhirnya membuat nama KPK dimata umum malahan jelek.
Karenanya, lanjutnya, agar nama tetap baik dan dihormati, maka kasus Bibit – Chandra harus didukung sampai maju di persidangan. Jadi disitu nanti dapat diketahui, benarkah dua pimpinan KPK itu bersalah atau tidak.
Disamping itu kasus ini jika sampai di pengadilan negeri (PN) nantinya biar dibeber secara jelas dan masyarakat sendiri mengerti dengan jelas. “Tapi prosesnya nanti harus dilakukan seadil-adilnya, sehingga yang benar harus dihormati kebenarannya dan yang salah pasti dikenakan sanksi hukum,” himbaunya.
Masih menurut Anggoho Wijaya, masalahnya, jika KPK gak ada kejujuran, untuk menangani kasus, pasti nanti terjadi kesemrawutan dan terjadi tumpang tindih proses, tidak bakal sempurna. “Mengapa demikian, karena saya sebenarnya sangat mendukung kinerja KPK dalam menangani kasus tipikor,” katanya.
Ketika disinggung masalah Anggoro Widjoyo dan Anggodo Widjoyo, pihaknya menceritakan, bahwa informasi yang diperoleh menyebutkan awalnya kasus, ditujukan ke Tanjung Siapiapi dan berkembang ke PT Masaro yang pimpinannya sudah bukan Anggoro.
“Setelah dilakukan penggeledahan tidak terbukti, kemudian mengarah ke SKRT bantuan dari luar negeri dengan alasan merugikan Negara dan memalsu merk. Dari sinilah akhirnya berkembang sampai sekarang,” terangnya.
Dengan demikian Anggoho Wijaya akhirnya mengeluarkan istilah “3- K”. Dijelaskan, K pertama adalah kebodohan, Anggoro kok mau mengeluarkan dana sebesar itu. Untuk K kedua Kebongolan, Anggodo merasa kakaknya di “peras” karena tidak salah, malah maju pantang mundur. Dan mengenai K terakhir, adalah Kebingungan, karena masyarakat melihat kasus ini berbelit-belit. (tim/ant/log)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar